Murabahah yang Sesuai Syariah

Majalah Pengusaha Muslim: Edisi 26/April 2012

Tulisan ini mengenai konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut fikih Isalam, bukan yang diterapkan oleh perbankan syariah kita.

Oleh Ustad Dr. Erwandi Tarmizi

Di rubrik ini edisi sebelumnya (No. 25/Maret 2012), telah dijelaskan pengertian, hukum dan peran murabahah menjadi sumber pendapatan perbankan syariah, sekaligus kesalahan penerapannya.  Murabahah memang produk andalan bahkan urat nadi bank syariah. Tulisan ini memaparkan konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut tinjaun fikih.

Murabahah umumnya diadalkan nasabah untuk mendapatkan dana talangan guna membayar kebutuhan mereka yang tidak bisa mereka bayar secara tunai. Bahkan, bagi sebagian kalangan, murabahah hanya sekadar mengikuti tren. Fenomena ini perlu dicermati, karena hakikat transaksi ini adalah utang bank. Padahal berutang sangat tidak dianjurkan dalam syariat Islam, kecuali membutuhkan barang dan mampu melunasinya. Sekali lagi, seorang muslim sangat tidak dianjurkan membeli barang mewah secara kredit.

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa kepada Allah meminta perlindungan dari lilitan utang: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan rasa sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan penakut, dari lilitan utang dan laki-laki yang menindas. Ketika ditanya kenapa berlindung dari lilitan utang, beliau menjawab, “Karena seseorang yang dililit utang, bila berbicara ia akan berbohong dan bila berjanji ia akan memungkirinya“. (HR. Bukhari)

Namun dalam keadaan sangat membutuhkan, dibolehkan berutang, sebagaimana diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara tidak tunai dan memberikan baju besinya sebagai jaminan“. (HR. Bukhari)

Dalam hadis di atas digambarkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat hati-hati dalam berutang, sebagai jalan terakhir bagi beliau untuk menutupi kebutahan pokoknya, yaitu dalam rangka  mendapatkan bahan makanan untuk diri dan keluarganya, bukan untuk barang yang sejatinya hanya kebutuhan sekunder. Sungguh bertolak belakang sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sikap sebagian umatnya yang saat ini terlalu mudah membeli barang secara kredit.

Bila seseorang sangat membutuhkan sebuah barang dan diperkirakan mampu melunasinya, dibolehkan baginya membelinya dengan cara kredit,[1] sekalipun harganya lebih mahal daripada harga pembayaran tunai bila persyaratan lain terpenuhi.

Pendapat kuat bahwa jual-beli tidak tunai (kredit) dibolehkan dalam Islam adalah hasil keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fikih Organisasi Kerjasama Islam/OKI) No. 51 (2/6) 1990: “Boleh melebihkan harga barang yang dijual dengan tidak tunai, melebihi harga jual pada transaksi  tunai … dan harganya dicicil dalam jangka waktu yang ditentukan”.[2]

Hal sama juga difatwakan Dewan Ulama Kerajaan Arab Saudi dalam fatwanya No. 1178 ketika ditanya tentang hukum jual-beli kredit. Jawabannya: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, berdasarkan firmanNya, yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275). Dan jual- beli kredit termasuk dalam jual beli yang dihalalkan”.[3]

Penjelasan di atas meninggalkan pertanyaan: apa beda antara riba dan jual-beli murabahah dalam bentuk kredit? Sekilas, memang tidak ada beda seseorang yang diberi kredit Rp 10 juta oleh bank kemudian melunasi kreditnya Rp 12 juta selama setahun, dengan orang yang membeli barang melalui jasa murabahah bank Rp 12 juta (10 juta harga barang dan Rp 2 juta sebagai margin untuk bank) dan diangsur selama setahun. Bukankah  tambahan Rp 2 juta dalam dua transaksi itu sama-sama nilai imbalan waktu tunggu selama setahun?

Jawab: inilah alasan yang disampaikan orang kafir jahiliyah ketika Allah mengharamkan riba. Allah menceritakan argumen mereka dan membantah dengan firmanNya, yang artinya: “Mereka (orang kafir) berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Untuk memahami perbedaan sangat mendasar  antara riba dan kredit murabahah, simak tabel berikut.

perbedaan riba dan murabahah tidak tunai

Tidak Ada Murabahah untuk Emas, Perak dan Mata Uang Asing

Di antara syarat murabahah, barang yang menjadi objek murabahah bukan emas, perak atau mata uang. Tidak boleh menjual emas dengan cara murabahah yang tidak tunai, karena termasuk riba ba’i. Terkait masalah ini, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 77/DSN-MUI/V/2010 yang membolehkan jual-beli murabahah emas tidak tunai tidaklah tepat. Fatwa ini bertentangan dengan panduan perbankan syariah internasional yang dibuat AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Finance Institutions)[4] yang menyatakan dalam Bab Al Murabahah lil Amir Bisysyira’ No 2/2/6, yang berbunyi, “Jual-beli murabahah tidak tunai tidak boleh dilakukan pada emas, atau perak, atau mata uang”.[5]

Tahapan Akad Mudharabah

Untuk berlangsungnya akad murabahah, ada beberapa tahap yang harus dilalui.

Tahap pertama, nasabah datang ke bank, mengutarakan maksudnya untuk membeli rumah dengan menjelaskan spesifikasinya serinci mungkin dan berjanji membelinya jika bank telah membeli rumah tersebut. Ada beberapa catatan terkait tahapan ini.

Tahap ini hanya sebatas janji, akad jual-beli belum lagi dimulai. Kesalahan praktik pada tahap ini adalah sebagian bank syariah langsung menuliskan akad jual-beli murabahah yang sifatnya mengikat, dan bank dianggap telah menjual rumah dengan spesifikasi yang dijelaskan nasabah dengan harga, laba dan tempo waktu tertentu. Bila hal ini terjadi, akad murabahah tidak sah dan hukum jual-belinya diharamkan, karena bank melanggar larangan menjual barang yang belum menjadi milik bank.

Karena tahap ini hanya sekadar janji kedua belah pihak yang sifatnya tidak mengikat, pihak bank tidak boleh meminta uang muka (down payment) kepada nasabah. Fatwa haramnya menarik uang muka pada tahap ini dikeluarkan oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami No: 72 (3/8) tahun 1993: “Tidak boleh memberikan dan menerima uang muka pada tahapan janji yang dilakukan dalam transaksi Murabahah lil âmir bisysyiraa’, dan uang muka boleh diambil pada tahapan selanjutnya.”[6]

Untuk keabsahan murabahah yang juga disyaratkan pada tahap ini, calon pembeli yang datang ke bank syariah tidak boleh melakukan transaksi apa pun dengan pihak penjual pertama sebelum ia mengajukan murabahah kepada pihak bank.

Sering terjadi kesalahan dalam praktik murabahah tahap ini. Yakni, calon pembeli rumah yang datang ke bank sebelumnya telah melakukan transaksi dengan developer, bahkan kadang pembeli telah membayar uang muka, baru kemudian datang ke lembaga keuangan syariah untuk mengajukan permohonan pembiayaan murabahah.

Bila hal itu terjadi dan kemudian bank menyetujui pembiayaan untuk nasabah, sesungguhnya akadnya tidak berbeda dengan pinjaman uang berbunga. Hal ini disebabkan pihak bank tidak membeli rumah dari developer. Karena oleh developer, rumah telah dijual ke nasabah yang kemudian datang ke bank untuk mengajukan pembiayaan. Sehingga status bank dalam hal ini hanya melunasi utang nasabah ke developer kemudian nasabah melunasi secara kredit dengan ditambah laba. Transaksi ini sama persis dengan bank meminjamkan uang kepada nasabah dan nasabah mengembalikannya secara angsuran ditambah bunga. Ini jelas riba jahiliyyah.

Oleh karena itu, dalam panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI disebutkan: “Harus tidak ada ikatan transaksi apa pun antara nasabah yang mengajukan permohonan ke pihak bank, dan pihak pihak penjual pertama … karena bila terdapat ikatan transaksi sebelumnya sesungguhnya murabahah yang dilakukan hakikatnya adalah pinjaman utang yang dibayar dengan berbunga”. [7]

Untuk keabsahan murabahah juga disyaratkan pada tahap ini barang yang diinginkan calon pembeli bukan barang yang dimiliki oleh perusahaan yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh calon pembeli. [8] Misal, nasabah ingin membeli rumah mewah seharga Rp 5 milyar. Dia mengajukan murabahah ke salah satu bank syariah. Lalu bank membeli rumah yang dipesan itu dari developer. Namun ternyata sebagian besar saham pembangunan rumah itu dikuasai oleh nasabah. Hukum murabahah ini batal dan diharamkan karena termasuk jual-beli ‘inah.

Hakikat dalam transaksi tersebut adalah developer yang sekaligus nasabah bank mendapat uang tunai Rp 5 milyar dari bank, selanjutnya harus membayar lebih karena ditambah laba murabahah untuk bank. Sedangkan akad jual-beli hanya di atas kertas. Ini termasuk riba dan merupakan  jual-beli ‘inah yang diharamkan.

Tahap kedua, bank syariah membeli barang yang dipesan nasabah. Bank membeli secara tunai. Setelah dibeli, barang harus diterima terlebih dahulu oleh bank dan resmi menjadi milik bank, sebelum dijual kepada nasabah.

Beberapa catatan untuk tahapan ini antara lain.

Pertama, sering terjadi kesalahan dalam praktik murabahah tahap ini. Yakni pihak bank syariah mewakilkan kepada nasabah untuk membeli dan menerima barang. Misal, nasabah ingin membeli rumah seharga Rp 500 juta dengan spesifikasi tertentu, lalu bank memberikan cek seharga rumah itu dan mewakilkan kepada nasabah untuk membeli dan menerima rumah dari developer. Pada saat yang sama bank mencatat kewajiban nasabah membayar ke pihak bank Rp 500 juta ditambah laba yang disepakati dengan cara angsuran dalam jangka waktu tertentu serta jumlah cicilan yang harus dibayar.

Praktik ini rekayasa pelegalan riba, karena bank belum memiliki rumah yang merupakan objek jual-beli murabahah. Sehingga hakikat dalam transaksi ini, bank meminjamkan uang Rp 500 juta yang akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu ditambah laba murabahah. Transaksi ini sama dengan pinjaman uang berbunga.[9]

Kedua, kesalahan selanjutnya dalam praktik murabahah tahap ini adalah pihak bank menjual barang kepada nasabah tanpa terlebih dahulu menerima barang tersebut. Misal, seorang nasabah ingin membeli mobil dengan spesifikasi yang dirincikannya. Kemudian pihak bank menghubungi salah satu showroom via telepon dan membeli mobil secara tunai (transfer). Setelah transaksi ini, bank sama sekali tidak menyentuh mobil itu. Sehingga masih dalam ruangan yang sama, bank langsung menjual mobil itu secara murabahah kepada nasabah. Sementara bank sama sekali belum menerima mobil dari showroom. Selanjutnya nasabah datang ke showroom tersebut dan menerima mobil yang diinginkannya. Akad jual-beli murabahah ini fasid (rusak) dan haram. Karena bank melanggar larangan hadis, yakni menjual barang sebelum diterima.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya.Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, “Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, “Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan. (HR. Bukhari)

Kesepakatan Harus Jelas

Untuk keabsahan jual-beli murabahah tidak tunai, pada saat transaksi dibuat,  harga, besarnya angsuran dan jangka waktu pelunasannya harus jelas. Di samping itu, harga harus satu, dan tidak boleh ada dua harga. Juga tidak boleh membuat harga mengambang, di mana penjual memberikan potongan harga yang dikaitkan dengan pelunasan angsuran. Misal, jika pembeli melunasi sebelum jatuh tempo pelunasan maka harga akan dipotong sekian persen. Potongan harga kredit karena pelunasan sebelum jatuh tempo hukumnya boleh, dengan syarat pemotongan harga tidak dicantumkan dalam akad jual-beli. Bila pemotongan dicantumkan dalam akad, hukumnya haram dan termasuk riba.

Dasar pelarangan ketidakjelasan harga atau adanya kesepakatan potongan ini ditinjau dari beberapa sisi. Pertama, harga menjadi tidak jelas. Sedangkan syarat sah jual-beli harga dan barang harus jelas. Ketidakjelasan ini diakibatkan pencantuman pemotongan harga. Ketika ditulis dalam akad bahwa harga mobil Rp 230 juta dengan angsuran selama 23 bulan dan jika dilunasi dalam tempo 12 bulan, diberi potongan 10 persen. Pada saat akad, pembeli tidak dapat memastikan apakah dia mampu melunasi selama 12 bulan, yang berarti harga mobil menjadi Rp 207 juta ataukah harus tertunda lebih lama. Bila tidak mampu, harga mobil menjadi Rp 230 juta.

Kasus tersebut melanggar hadis, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual-beli dalam satu transaksi jual-beli. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i dengan sanad hasan). Ini yang dimaksudkan dengan larangan menjual dua harga, yang di dalamnya terdapat dua harga dan tidak jelas harga mana yang disepakati oleh penjual dan pembeli di awal transaksi.

Kedua, pencantuman potongan kredit menyebabkan riba. Jika pembeli memilih untuk melunasi dalam 12 bulan, berarti harga mobil menjadi Rp 207 juta. Ternyata dia tidak mampu melunasinya dalam tempo tersebut. Dengan demikian ia terpaksa melunasinya selama 23 bulan dengan harga Rp 230 juta rupiah.  Ini sama dengan riba. Karena ketika dia tidak mampu melunasi utangnya, ia diberi masa tangguh selama 11 bulan dengan bunga yang harus dibayar Rp 23 juta. Ini hakikat riba jahiliyah: beri tangguh utangku dan akan aku beri imbala.n[10]

Tidak Ada Denda untuk Keterlambatan Pelunasan

Untuk keabsahan jual-beli murabahah tidak tunai, maka tidak boleh terdapat persyaratan sanksi denda pada saat nasabah terlambat membayar angsuran. Keterangan ini disepakati seluruh ulama, karena denda keterlambatan merupakan riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah dan telah diharamkan Allah dalam Al-Quran. Hal ini ditegaskan oleh keputusan Muktamar Majma’ Al-Fiqh Al-Islami No : 51 (2/6) tahun 1990, yang berbunyi: “Apabila pembeli (barang secara tidak tunai) terlambat membayar angsuran pada tempo yang telah ditentukan, maka tidak boleh memberikan sanksi berupa penambahan utang; baik hal ini disyaratkan sebelumnya pada akad maupun tidak, karena ini merupakan riba yang diharamkan.”[11]

Pelarangan sanksi penalty pada jual-beli kredit dari satu sisi akan merugikan pihak penjual, padahal Islam tidak mungkin menjadi penyebab kerugian. Lalu bagaimana solusi Islami untuk mengatasi terjadinya kredit macet?

Bersambung insya Allah..

Baca sambungannya: Panduan Murabahah yang Sesuai Syariah (Bagian – 2)

Keterangan:

[1]           Dr. Sami Suwaylim, Qadhayaa Fil Iqtishad Wat Tamwil Islami, hal 37.
[2]           Journal Islamic Fiqh Council, vol VII, jilid 2, hal 9.
[3]           Fatawa lajnah daimah, jilid XIII, hal 148-149.
[4]          Lembaga resmi Internasional yang menyusun Standar Operasional Prosedur lembaga keuangan syariah, beranggotakan para ulama dan pakar ekonomi Islam yang dipilih dari seluruh dewan syariah di bank-bank syariah dunia, berpusat di Bahrain, didirikan pada tahun 1991. Saat ini AAOIFI telah mengesahkan 41 standar operasional produk Lembaga Keuangan Islam. Juga telah mengeluarkan 84 standar operasional akuntansi Lembaga Keuangan Islam.
[5]           Al-Ma’ayir As-Syar’iyyah, hal 93.
[6]          Journal Islamic Fiqh Council, edisi VIII, jilid I, hal 641.
[7]          AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[8]          AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[9]          Dr. Asy Syubaily, Fiqh Muamalat Mashrafiyyah, hal 66.
[10]        Dr. Sulaiman At Turki, Bai’ Taqsith, hal 293.
[11]        Journal Islamic Fiqh Council, edisi VI,  jilid 1, hal 193.

Sumber Artikel : http://pengusahamuslim.com/5473-panduan-murabahah-yang-sesuai-syariah-bagian-1.html